Salinan dari Hitam Putih Sinematik Teks Judul Cuplikan Video (1920 x 720 piksel) (2)

Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pusat kebudayaan memiliki beberapa tarian klasik, yakni Bedhaya, Srimpi, Wireng, Petilan, dan Wayang Wong. Di antara beberapa tarian tersebut, terdapat satu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja, yakni Tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian tradisional keraton yang sarat makna dan erat hubungannya dengan upacara adat, sakral, religi, dan percintaan raja dengan Kanjeng Ratu Kidul. Tari ini juga menjadi salah satu pusaka warisan leluhur yang dimiliki raja dan merupakan konsep legitimasi raja.

Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Selanjutnya, ketawang berasal dari kata tawang yang berarti langit atau mendung di langit. Kata ketawang melambangkan suatu yang tinggi, suci, dan tempat tinggal para dewa. Penarinya dilambangkan seperti letak bintang kalajengking yang jumlahnya sembilan.

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang erat hubungannya dengan (1) adat upacara, (2) sakral, (3) religius, dan (4) tarian percintaan atau tari perkawinan.

Pertama, tari Bedhaya Ketawang erat hubungannya dengan adat upacara. Bedhaya Ketawang bukanlah tarian yang semata-mata untuk dipertontonkan melainkan hanya ditarikan pada situasi tertentu. Tarian ini digelar hanya ketika peringatan ulang tahun tahta kerajaan, yakni setiap tahun sekali. Selama prosesi berlangsung, tidak diperbolehkan mengeluarkan atau menikmati hidangan apa pun karena akan mengurangi kekhidmatan upacara adat ini.

Kedua, tari Bedhaya Ketawang erat hubungannya dengan kesakralan. Tarian ini dianggap sebagai ciptaan Kanjeng Ratu Kidul sehingga dianggap sakral. Orang-orang percaya bahwa pencipta tari ini akan senantiasa hadir ketika Bedhaya Ketawang ditarikan dan ikut menari. Bahkan, ketika latihan pun Kanjeng Ratu Kidul sering membetulkan kesalahan yang dibuat penari. Kehadiran beliau tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya penari yang bersangkutan yang dapat merasakannya.

Ketiga, tari Bedhaya Ketawang erat hubungannya dengan religiusitas. Semula, Bedhaya Ketawang dipercaya sebagai tarian untuk pemujaan di candi-candi dengan suasana yang religius. Kereligiusan ini tampak dari dari kata-kata suarawatinya atau yang diucapkan pasindhennya yang berbunyi : ….tanu astra kadya agni urube, kantarkantar kyai….yen mati ngendi surupe, kyai ?” (…kalau mati kemana tujuannya, kyai ?).

Keempat, tari Bedhaya Ketawang erat hubungannya dengan tarian percintaan atau tari perkawinan. Tarian ini melambangkan kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan Sinuhun Sultan Agung. Hal ini terejawantahkan dalam gerak-gerik seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher, dan sebagainya. Penari juga dirias lazimnya seorang mempelai yang akan dipertemukan. Selain itu, kata-kata yang terdapat dalam hafalan nyanyian yang mengiringi tarian juga menggambarkan curahan asmara Kanjeng Ratu Kidul.

Sekaten

Sekaten, merupakan rangkaian kegiatan tahunan sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh dua keraton di Jawa yakni Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiulawal penanggalan Hijriah).
Beberapa acara penting perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Islam Muhammad dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung dan, puncaknya adalah dengan diadakannya perayaan Grebeg Maulud sebagai bentuk syukur pihak istana dengan keluarnya sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat

Mohon isi buku tamu pameran disini…