

Parade Kreasi Batik dalam Solo Batik Carnival
Solo sudah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batik terbesar di Indonesia. Tradisi pembuatan batik masyarakat kota ini berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai motif pun dihasilkan dan dikembangkan oleh para perajin batik di sini.
Solo sudah dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batik terbesar di Indonesia. Tradisi pembuatan batik masyarakat kota ini berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai motif pun dihasilkan dan dikembangkan oleh para perajin batik di sini. Beberapa sentra batik pun tumbuh di kota ini. Sejak tahun 2008, tradisi batik semakin terasa di kota ini. Pada tahun tersebut, untuk pertama kalinya juga diadakan pagelaran akbar Solo Batik Carnival.
Solo Batik Carnival merupakan parade kebudayaan terutama busana yang terbuat atau menggunakan unsur batik di jalan. Parade ini diadakan di jalan utama Kota Solo, seperti salah satunya di Jalan Slamet Riyadi.
Parade ini akan dimulai di perempatan Purwosari dan berakhir di Balaikota Solo. Masyarakat dapat menikmati parade ini secara gratis. Para pengunjung memadati sisi Jalan Slamet Riyadi, menikmati keindahan kreasi busana yang ditampilkan para peserta parade.
Mahesa Lawung


Mahesa Lawung merupakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai bentuk permohonan keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan alam.
Pelaksanaan upacara ini umumnya berlangsung pada hari Senin atau Kamis di bulan Bakda Mulud (Rabiul Akhir) menurut penanggalan Jawa. Upacara Sesaji Mahesa Lawung diselenggarakan di kawasan Alas Krendawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, yang masih termasuk dalam wilayah Situs Sangiran. Ritual ini merupakan bentuk persembahan sakral kepada Bathari Kalayuwati (manifestasi dari Dewi Durga) yang diyakini sebagai penjaga gaib wilayah utara Keraton Surakarta.
Pelaksanaan upacara bertujuan untuk memohon keselamatan serta perlindungan dari berbagai bentuk mara bahaya, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Sejak tahun 2021, Pemerintah menetapkan Mahesa Lawung sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Sebelum tiba di Alas Krendhowahono, Prosesi Mahesa Lawung diawali dari keraton. Pada mulanya semua sesaji berupa makanan, hasil bumi, serta kepala kerbau telah dipersiapkan di dapur keraton Gondorasan. Dari dapur sesaji tersebut dibawa ke Sasana Maliki, lantas didoakan di Sitinggil, kemudian dibawa ke lokasi dengan berjalan kaki.
Sesampainya di hutan semua abdi dalem duduk bersila dan membaur menjadi satu. Secara silih berganti para sentono dalem atau kerabat keraton naik ke sebuah pepunden batu yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathara Durga untuk memanjatkan doa. Kedua telapak tangannya saling menempel, diangkat hingga sejajar dengan wajah. Mulutnya komat-kamit merapal doa. Di depannya berjajar aneka sesaji, mulai dari kembang tujuh rupa, ayam ingkung, kelapa muda, jajanan pasar, dan yang paling utama adalah potongan kepala kerbau.
Potongan kepala kerbau menjadi inti dalam Upacara Mahesa Lawung ini. Tak sembarang kerbau bisa dijadikan sebagai sesajen utama dalam ritual sakral ini. Si kerbau haruslah seekor kerbau jantan yang belum pernah dipekerjakan dan belum pernah kawin. Kerbau bujang ini dalam bahasa jawa diistilahkan dengan sebutan Joko Umbaran. Sesuai dengan arti secara harafiahnya, mahesa yang berarti kerbau dan lawung yang berarti jantan. Usai acara doa selesai, kepala kerbau lantas dikubur di area tak jauh dari pepunden. Acara lantas ditutup dengan menikmati makanan bersama-sama.
Pemilihan kepala kerbau sebagai inti dari acara ini tentu bukan tanpa alasan. Kerbau adalah simbol kebodohan. Seperti pepatah jawa kuno yang berbunyi “bodo longa-longo koyo kebo” yang berarti orang bodoh plonga-plongo seperti kerbau. Dengan mengubur kepala kerbau, secara filosofis menggambarkan upaya untuk memberantas kebodohan dalam kehidupan. Tak hanya kepalanya saja, kaki dan jeroannya pun ikut dikubur.


Grebek Sudiro
Grebeg Sudiro adalah perayaan grebeg yang menggabungkan budaya Jawa dan budaya Tionghoa di Sudiroprajan. Perayaan ini awalnya dilakukan untuk tradisi Islam seperti Maulid Nabi Muhammad, Muharram, Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi acara kampung yang dilaksanakan menjelang Imlek yang acara utamanya adalah karnaval dan gulungan. Tema utama dalam perayaan Grebeg Sudiro adalah keberagaman dan kebhinekaan. Masyarakat Tionghoa, Jawa dan etnis lainnya turut serta dalam penyelenggaraan Grebeg Sudiro yang menjadi acara tahunan Kota Surakarta. Ornamen yang ditampilkan selama perayaan sangat beragam




Grebeg Sudiro dirintis oleh Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya dengan persetujuan dari Lurah Sudiroprajan beserta jajaran aparatnya. Perintisannya juga mendapat dukungan para budayawan, tokoh masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat di Kota Surakarta.
Rangkaian acaranya yaitu Sedekah Bumi dan Kirab Budaya. Sedekah Bumi dilaksanakan 7 hari sebelum Kirab Budaya. Pelaksanaannya dilakukan di dekat Prasasti Bok Teko, Sudiroprajan. Kirab Budaya diikuti oleh masyarakat Sudiroprajan dengan pameran budaya sambil berkeliling.
Awalnya, Grebeg Sudiro hanya dilakukan untuk memperingati ulang tahun Pasar Gede. Kirab Budaya pada Grebeg Sudiro baru dilaksanakan pada tanggal 3 Februari 2008 dengan warga Sudiroprajan sebagai pesertanya. Pada tahun 2009, warga Tionghoa turut serta dalam Grebeg Sudiro.
Pada tahun 2010, pemerintah Kota Surakarta menetapkan Grebeg Sudiro sebagai acara tahunan Kota Surakarta. Setiap tahun, Grebeg Sudiro dilakukan sekali dengan Pasar Gede sebagai pusat acara
Tradisi Grebeg Sudiro menampilkan acara yang merupakan bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Hal itu bisa dilihat dari karnaval budaya yang menampilkan kesenian Jawa, seperti reog, berpadu dengan barongsai khas China.
Grebeg Sudiro pun masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) dari kemenparekraf. Bahkan, ini jadi KEN pertama tahun 2024. Merupakan simbol dan wujud aktualisasi, akulturasi, pembauran, dan harmoni dalam kebhinekaan di kawasan heritage Pasar Gede dan Kampung Pecinan yang menjadi bagian Kelurahan Sudiroprajan